Perlahan, tapi pasti, kala itu kulihat seorang ibu sedang berjualan di kios-kios darurat pasar raya. Mereka bersorak dengan serak memanggil para pembeli. Aku hanya bisa melihat untuk saat itu. Dari kejauhan aku bisa melihat ibu itu merasa kepanasan, cuaca memang sedang ingin berkeringat, ia menyeka keningnya dengan handuk kecil lusuh yang sebelumnya ada di bahu kiri. Tidak samar, tapi jelas, terlihat seorang bayi sedang tertidur pulas disebelah ibu itu. Terperanjat aku dibuatnya, tidak seharusnya bayi kecil yang kalau ditaksir berusia masih beberapa bulan berada di tengah kotornya udara pasar, kotornya suasana, bau tak sedap itu. Aku berjalan pelan menuju kios yang menjajakan sayur kangkung itu. "Berapa seikat buk?" "Ampek Ribu Nak." Jawabnya dan akupun mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dan meminta dua ikat saja, sambil melirik kearah bayi yang sedang tertidur, pun aku bertanya satu pertanyaan, "kenapa bayinya tidur disini buk?" Sesaat itu, sang ibu bercerita panjang lebar, curhat bagaimana hidup mereka, tentang gempa 30 september 2009 lalu, rumah mereka yang baru saja di bangun dengan triplek-triplek bekas kembali hancur dikawasan pondok, suaminya Winka Sauro, keturunan Belanda yang pada saat kejadian meninggal karna dihantam oleh tiang bangunan yang tengah ia kerjakan ditempat kerjanya. Berlinang ia bercerita kala itu, sesekali ia tetap bersuara serak memanggil para pembeli, tapi tak satu pun yang datang, kalaupun ada, cuma melihat sayur itu saja. Lantas, aku berpikir cepat dan bertanya, "jadi bayi itu bukan anak ibuk?" tukasku. Ia kembali menyelam masa lalu, bayi tersebut adalah anak kakaknya, lebih tepat almarhum kakaknya, kurang lebih dua bulan yang lalu kakaknya meninggal karna gagal ginjal di kota bingkuang ini. Kembali ia berlinang air mata dan menyekanya. Sesaat kemudian, seorang ibu-ibu menghampiri kami dan menawar sayur dagangannya. Tiga ribu seikat, tutur pembeli yang ingin membeli 5 ikat Kangkung. Transaksi terjadi. Setelah pembeli beranjak, ibu sipenjual sayur berkata, " Nak, ang mahasiswa? Kok bisuak lah jadi urang gadang, elok-elok lah, jan baparangai takah urang-urang gadang kini. Payah urang dek awak, pasti masuak narako." nak, kamu mahasiswa? Kalau sudah berhasil nanti, jadilah orang yang baik, jangan banyak tingkah seperti pejabat-pejabat sekarang. Banyak orang yang akan susah karena kita, pasti masuk neraka) Terhenyak mendengar kalimat ibu sipenjual sayur, disana ia menyiratkan kesengsaraan dari elit-elit kota. Kota yang teramat tua untuk menyengsarakan kalimat-kalimat lugu dari seorang janda pengasuh bayi penjual sayur, Kangkung.Tengah asyik dalam rangkaian kata-kata, Rina datang membawakan pesananku. Segelas Capucino dan secangkir Black Coffe. Rina tersenyum kearahku dan menyodorkan gula, lagi-lagi, seperti biasa, aku adalah orang pemanis yang sudah dikenal oleh Rina. "Lagi nulis lagi, Di?" tanyanya tak heran. "Iya, biasalah, cuma nulis pengamatan saja dan aku post di blog, mana tau ada penerbit yang mau cetak tulisan-tulisan dekil ini." jawabku. "oh, yaudah aku balik kerja ya." imbuhnya dan aku kembali melanjutkan menulis.
Memang benar, aku adalah seorang mahasiswa tahun 3 jurusan manajemen, saat ini aku adalah seorang anak yang sedang gencarnya memerhatikan permasalahan sosial, tapi karena kebetulan sedang berada didaerah pasar raya, dan tidak sengaja melihat ibu sipenjual sayur tersebut. Aku permisi sambil membawa dua ikat sayur, aku menerawang luas, memikirkan nasib seorang janda sipengasuh dan sipenjual sayur. Kalimat-kalimat yang ia ucapkan sungguh pantas untuk mahasiswa-mahasiswa saat ini yang hanya sibuk kuliah-pulang, mahasiswa yang hanya sibuk berdemo menuntut hak mereka atau kelompok. Mahasiswa yang tidak memahami arti sosial yang sesungguhnya, kehidupan mereka yang dibawah sana, mereka adalah saudara kita, butuh perhatian lebih, ada baiknya tidak usah berorasi kepada pembuat kebijakan, tapi lakukanlah sebuah aksi yang bernilai untuk mereka-mereka yang dibawah itu. (*)Kulirik jam tangan pemberian ayahku, sudah tengah malam, aku melihat Rina yang sedang bersiap pulang, aku memberikan isyarat kepadanya dan ia berjalan menuju meja tempat dimana aku duduk. Dia tersenyum ke arahku dan aku pun begitu. Rina, juga salah satu dari mereka-mereka yang dibawah yang aku kenal dengan baik, kehidupannya pun hampir sama dengan ibu sipenjual sayur itu. Aku menyodorkan notebook dan membiarkan Rina membaca tulisan ku tadi. Ia serius membacanya hingga selesai, sesekali ia tersenyum dan menyeringai, akupun tersenyum melihatnya. Selang beberapa saat ia selesai membaca, ia bertutur : "Hidup tak hanya sekadar mencari materi, tapi kebahagiaan." (tinta putih)